Selasa, 01 Desember 2009

Mengenal Na'jis

Abu Ubaidah Al-Atsari


a. BARANG-BARANG YANG BIASA DIANGGAP NAJIS PADAHAL BUKAN
Sebagaimana kita pelajari pada edisi lalu bahwa asal segala sesuatu adalah suci, tidak boleh dikatakan najis kecuali berdasarkan dalil-dalil yang kuat. Bila memang ada dalil shohih yang menajiskannya, maka kita katakan najis. Namun jika tidak, maka sebaiknya kita berhenti sejenak dan bertanya kepada orang yang menganggapnya sebagai barang najis: “Datangkanlah dalilnya!”. (Lihat Sailul Jaror (1/43) karya As-Syaukani).
Berikut ini kami uraikan beberapa barang yang dianggap oleh sebagian kaum muslimin termasuk katagori najis padahal tidak demikian.
1. Darah selain darah haidh.
Barangsiapa yang menyamakan antara hukum darah haidh dengan darah lainnya, seperti darah manusia atau darah binatang, maka dia telah jatuh dalam kesalahan yang fatal. Hal ini dikarenakan beberapa dalil berikut:
Dalil pertama:
Asal segala sesuatu adalah suci, tidak boleh dipalingkan kecuali dengan dalil yang kuat. Sedangkan tidak ada satu dalilpun yang menyatakan bahwa seluruh darah adalah najis.
Dalil Kedua:
Kisah seorang sahabat Anshor yang dipanah oleh orang musyrik dengan tiga panah ketika dia sedang menjalankan ibadah sholat, sahabat tersebut tetap meneruskan sholatnya padahal darah mengalir dan membasahi tubuhnya. Kejadian itu terjadi pada perang Dzat Riqo’. (HR. Bukhori secara muallaq (1/375-Al-Fath. Al-Hafidz berkata: “Dan diriwayatkan Ahmad, Abu Daud, Daruqutni dan dishohihkan Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim”).
Dzohir hadits ini, bahwasanya Nabi n mengetahui kejadian tersebut. Sebab, amat mustahil sekali Nabi n tidak mengetahui kejadian tersebut. Kalau memang benar demikian adanya, maka ini termasuk taqrir (persetujuan) Nabi n, seandainya darah itu najis dan membatalkan sholat, tentu Nabi n tidak akan menunda penjelasan. Dan seandainya toh memang Nabi n tidak mengetahui kejadian tersebut, tetapi mungkinkah Alloh tidak mengetehuinya?
Dalil ketiga:
Dari Muhammad bin Sirin dari Yahya bin Al-Jazzar berkata: “Ibnu Mas’ud pernah sholat sedangkan di perutnya terdapat kotoran dan darah domba yang disembelihnya, dan beliau tidak berwudhu lagi”. (Diriwayatkan Abdur Rozaq dalam Al-Mushonnaf (1/125), Ibnu Abi Syaibah (1/392), Thobroni dalam Mu’jamul Kabir (9/284) dengan sanad shohih. Lihat Silsilah Ahadits Shohihah juz 1 hal.605-608 dan Tamamul Minnah hal.51-52 karya Al-Albani).
Dalil keempat:
Hasan Basri berkata: “Kaum muslimin senantiasa sholat dengan luka-luka mereka”. (Diriwayatkan Bukhori dalam Shohihnya (1/375) secara muallaq).
Kesimpulannya, Imam Syaukani berkata dalam Sailul Jaror (1/44): “Apabila masalah ini telah jelas bagi anda, maka anda dapat mengetahui bahwa kaidah asal hukum darah adalah suci. Karena tidak ada dalil yang kuat untuk menajiskannya”.

2. Khomr.
Dalil orang-orang yang berpendapat najisnya khomr adalah firman Alloh:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءاَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَاْلأَنصَابُ وَاْلأَزْلاَمُ رِجْسُُ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al-Maidah: 90)
Kami jawab bahwa maksud kata (رِجْسُ ) dalam ayat ini bukan secara hakekatnya tetapi bersifat maknawi. Karena kata “Rijz’ merupakan khobar dari khomer dan ‘atofnya (judi, berhala dan undian), yang tidak disifati dengan najis secara hekakatnya. Dalilnya firman Alloh:
فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ اْلأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ
Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang kotor itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta. (QS. Al-Hajj: 30).
Patung-patung adalah kotor secara maknawi, tetapi tidak najis menyentuhnya. (Lihat Jami’ul Bayan (10/155) karya At-Thobari).
Bahkan kita menjumpai dalil tentang sucinya khomer berikut ini:
عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ  يَخْطُبُ بِالْمَدِيْنةِ قَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللهَ تَعاَلىَ يُعَرِّضُ بِالْخَمْرِ وَلَعَلَّ اللهُ سَيُنْزِلُ فِيْهَا أَمْرًا فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهَا شَيْءٌ فَلْيَبِعْهُ وَلْيَنْتَفِعْ بِهِ قَالَ فَمَا لَبِثْنَا إِلاَّ يَسِيْرًا حَتَّى قَالَ النَّبِيُّ  إِنَّ اللهَ تَعَالَى حَرَّمَ الْخَمْرَ فَمَنْ أَدْرَكَتْهُ هَذِهِ الآيَةُ وَعِنْدَهُ مِنْهَا شَيْءٌ فَلاَ يَشْرَبْ وَلاَ يَبِعْ قَالَ فاَسْتَقْبَلَ النَّاسُ بِمَا كَانَ عِنْدَهُ مِنْهَا فِيْ طَرِيْقِ الْمَدِيْنَةِ فَسَفَكُوْهَا

Dari Abu Said Al-Khudri berkata: Saya mendengar Nabi n berkhutbah di Madinah bersabda: “Wahai manusia, sesungguhnya Alloh telah menyinggung khomer dan barangkali Alloh akan menurunkan wahyu tentangnya, maka barangsiapa yang mempunyai khomer, hendaknya dia menjualnya dan memanfaatkannya”. Tak lama kemudian Nabi n bersabda: “Sesungguhnya Alloh telah mengharamkan khomer, maka barangsiapa yang mengetahui ayat ini sedangkan dia mempunyai khomer, maka janganlah dia meminum dan menjualnya”. Lalu (para sahabat) yang memiliki khomer menyambut di jalan-jalan kota Madinah, lalu mereka menumpahkannya. (HR. Muslim (5/39), Abu Ya’la dalam Musnadnya (2/320/1056) dan Baihaqi dalam Sunannya (6/11) sebagaimana dalam As-Shohihah no. 2348).
Syaikh Al-Albani berkata dalam As-Shohihah (5/460): “Dalam hadits ini ada faedah penting yaitu isyarat tentang sucinya khomer sekalipun haram hukumnya. Sebab seandainya khomer tidak suci, niscaya para sahabat tidak akan menuangkannya di jalan-jalan dan tempat lewat banyak orang tetapi mereka akan membuangnya ke tempat yang jauh sebagaimana lazimnya barang-barang najis lainnya. Hal ini seperti diisyaratkan dalam sabda Nabi n:
اتَّقُوْا اللاَّعِنَيْنِ فَقَالُوْا وَمَا اللاَّعِنَانِ يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ الَّذِيْ يَتَخَلَّى فِيْ طَرِيْقِ الْمُسْلِمِيْنَ وَفِيْ ظِلِّهِمْ
Waspadalah kalian dari dua perkara yang menyebabkan laknat. Mereka bertanya: “Apakah dua perkara yang menyebabkan laknat itu?”. Beliau menjawab: “Orang yang buang kotoran di jalan manusia atau di tempat berteduhnya manusia”. (HR. Muslim dll. Lihat Irwa”ul Gholil (1/100-101) karya Al-Albani).
Sebagian ulama’ telah mengatakan sucinya khomer ini. Kami sebutkan diantaranya:
1. Robi’ah bin Abdur Rohman yang terkenal dengan “Robi’ah Ro’yi”.
2. Laits bin Sa’ad Al-Mishry Al-Faqih.
3. Ismail bin Yahya Al-Muzani, sahabat Imam Syafi’i.
Dan masih banyak lagi dari para ulama mutaakhirin dari Baghdad dan Qurawiyyah, mereka berpendapat bahwa khomer adalah suci sekalipun haram diminum sebagaimana dalam Tafsir Qurthubi (6/88). Syaikh Al-Albani berkata dalam Tamamul Minnah hal.55: “Inilah pendapat yang rojih (kuat) berdasarkan kaidah “asal segala sesuatu adalah suci” dan tidak adanya dalil yang memalingkannya”.

3. Kotoran dan air kencing binatang yang dagingnya boleh dimakan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Majmu’ Fatawa (21/613-615): “Adapun kencing dan kotoran binatang yang dagingnya dimakan, maka mayoritas salaf berpendapat bahwa hal itu tidaklah najis. Ini merupakan madzhab Malik, Ahmad dan selainnya. Dan bahkan dikatakan: Tidak ada seorangpun sahabat yang berpendapat najis. Kami telah memaparkan masalah ini secara panjang lebar dalam kitab khusus dengan memaparkan belasan dalil bahwa hal itu (kencing dan kotoran hewan yang dagingnya dimakan) tidak termasuk najis”.
Berikut ini beberapa dalil yang menunjukkan bahwa kotoran binatang yang dimakan dagingnya tidak najis:
Dalil pertama:
Kaidah: Asal segala sesuatu adalah suci, tidak boleh dikatakan najis kecuali berdasarkan dalil, sedangkan tidak ada satu dalilpun yang menajiskannya baik nash Al-Qur’an, hadits, ijma’ maupun qiyas.
Dalil kedua:
Nabi n memberikan izin kepada orang-orang dari negeri ‘Urainah untuk minum dari air kencing unta dan susunya. (Lihat secara lengkap dalam Shohih Bukhori no. 233 dan Shohih Muslim no. 1671).
Hadits ini menunjukkan sucinya air kencing hewan yang dimakan dagingnya. Sendainya najis, tentu Nabi n tidak memberikan izin untuk berobat dengannya dan Nabi n juga akan memerintahkan kepada mereka agar mencuci mulut atau baju mereka yang terkena air kencing tersebut, karena tidak boleh mengakhirkan penjelasan disaat dibutuhkan ”. (Lihat Zadul Ma’ad (4/44) karya Ibnu Qoyyim).
Dalil ketiga:
Nabi n bersabda:
صَلُّوْا فِيْ مَرَابِضِ الْغَنَمِ وَلاَ تُصَلُّوْا فِيْ مَعَاطِنِ الإِبِلِ فَإِنَّهَا خُلِقَتْ مِنَ الشَّيْطَانِ
Sholatlah kalian di kandang kambing tetapi janganlah kalian sholat di kandang unta karena ia diciptakan dari syetan. (HR. Ibnu Majah (1/258), Thohawi (1/224), Ahmad 451, 491, 509), Baihaqi (2/449), Thoyalisi (913) dan dishohihkan Al-Albani dalam Ats-Tsamarul Mustathob (1/382-389).
Dalam hadits ini, Rasulullah n memberikan izin untuk sholat di kandang kambing yang identik dengan kotorannya. Seandainya kotoran tersebut najis, tentu Nabi n tidak akan memperbolehkan sholat di tempat tersebut.
Dalil keempat:
Dari Abdullah bin Mas’ud bahwasanya Rasulullah n ketika tengah sujud di ka’bah, lantas orang-orang Quroisy mengutus Uqbah bin Abi Mu’ith kepada suatu kaum yang telah menyembelih hewan. Kemudian dia (Uqbah) datang dengan membawa kotoran dan jerohannya lalu meletakkannya di atas punggung Rasulullah n ketika sedang sujud. Tetapi Rasulullah n tidak berpaling hingga selesai sholatnya. (HR. Bukhori Muslim).
Dalil kelima:
Nabi n melakukan thowaf di atas untanya. (HR. Bukhori no. 1612 dan Muslim no. 1274).
Nabi n memberikan izin kepada Ummu Salamah untuk thowaf dengan menaiki kendaraan. (HR. Bukhori no. 1633 dan Muslim no. 1276).
Dalam dua hadits di atas, Nabi n memasukkan kendaraanya di tanah suci dan sangat kemungkinan besar kalau kendaraan untanya tersebut mengeluarkan kencing dan kotoran.
Kesimpulannya, seandainya kencing dan kotoran hewan termasuk perkara najis, tentu akan dijelaskan dalam agama yang mulia ini karena sangat berkaitan erat dengan kehidupan manusia. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah telah memaparkan dalil-dalil masalah ini secara panjang lebar dalam Majmu’ Fatawa (21/534-587). Silakan membacanya!.

4. Air muntah
Dalil orang-orang yang menajiskannya adalah hadits Ammar bin Yasir dari jalan Tsabit bin Hammad dari Ali bin Zaid bin Jad’an
يا عَمَّارُ إِنَّمَا تَغْسِلُ ثَوْبَكَ مِنَ الْبَوْلِ وَالْغَائِطِ وَالْمَنِيِّ وَالدَّمِ وَالْقَيْءِ
Wahai Ammar, sesungguhnya pakaian itu hanya dicuci karena lima perkara; air kencing, kotoran manusia, air mani, darah dan muntah.
Kami jawab: Hadits ini Bathil. Dikeluarkan Daruqutni dalam Sunan-nya (1/127), Abu Ya’la dalam Musnadnya (3/185), Al-Bazzar dalam Zawaidnya (1/131), Baihaqi (1/14), Al-Uqoliy dalam Adh-Dhu’afa (1/176) dan Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil (5/525).
Daruqutni berkata: “Hadits ini tidak diriwayatkan melainkan oleh Tsabit bin Hammad sedangkan dia adalah lemah”.
Baihaqi berkata: “Hadits ini bathil, tidak ada asalnya…Ali bin Zaid tidak dapat dijadikan hujjah sedangkan Hammad, dia tertuduh memalsukan hadits”.
Al-Haitsami berkata dalam Majma’ Zawaid (1/283): “Diriwayatkan Thobroni dalam Al-Ausath dan Al-Kabir serta Abu Ya’la. Semuanya bersumber dari Tsabit bin Hammad, sedangkan dia lemah sekali”.
Hadits ini juga disebutkan Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam At-Talkhis (1/44), Az-Zaila’i dalam Nasbur Royah (1/210-211) dan Syaukani dalam Nailul Author (1/54) seraya berkata: “Tidak boleh berhujjah dengan hadits seperti ini”.
Disebabkan tidak adanya dalil shohih yang menajiskan air muntah, maka kita kembali kepada kaidah: Asal segala sesuatu adalah suci. Oleh karena itu imam Ibnu Hazm menegaskan akan sucinya air muntah seorang muslim dalam kitabnya Al-Muhalla (1/183). Inilah madzhab Syaukani dalam Ad-Durorul Bahiyyah dan Shidiq Hasan Khon dalam Roudhoh Nadiyyah (1/18-20) serta disetujui Al-Albani dalam Tamamul Minnah (hal.53).

5. Badan orang kafir.
Dalil orang-orang yang menajiskannya adalah firman Alloh:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسُُ فَلاَيَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini. (QS. At-Taubah: 28)
Kami jawab bahwa maksud najis dalam ayat ini adalah najis secara maknawi (lahiriyyah) bukan dzat badannya. Al-Hafidz Ibnu Katsir berkata dalam Tafsirnya (2/382): “Ayat mulia ini menunjukkan akan najisnya orang musyrik sebagaimana ditunjukkan oleh hadits shohih:
إِنَّ الْمُسْلِمَ لاَ يَنْجُسُ
Orang muslim itu tidak najis.
Adapun kenajisan badannya, maka mayoritas ulama berpendapat tidak najis, karena Alloh menghalalkan makanan ahli kitab dan sebagian kaum Dzohiriyyah berpendapat akan najisnya badan orang musyrik…”.
Kami katakan: Pendapat jumhur ulama’ adalah pendapat yang rojih (kuat) berdasarkan dalil-dalil berikut:
Dalil pertama:
Firman Alloh dalam surat Al-Maidah ayat: 5
X
Dalil kedua:
Nabi n dan para sahabat mengikat seseorang bernama Tsumamah bin Utsaal ketika masih kafir di salah satu pagar masjid. (Lihat kisah lengkapnya dalam Shohih Bukhori no.4372 dan Shohih Muslim no.1764).
Imam Bukhari membuat bab hadits ini dalam shohihnya no. 469: Bab Orang Musyrik masuk Masjid.

Dalil ketiga:
Hadits ‘Imron bin Khusain bahwasanya Rasulullah pernah menggunakan tempat air milik seorang wanita musyrik untuk minum. (lihat kisah selengkapnya dalam Fathul Bari (1/447-448) dan Shohih Muslim no.682).
Kesimpulannya: badan orang kafir adalah tidak najis. Hal ini merupakan madzhab Syafi’i dan mayoritas ulama salaf. (Lihat Syarh Shohih Muslim: 4/52, Imam Nawawi).

6. Badan orang junub dan wanita haidh.
Dalil-dalil yang menunjukkan bahwa badan orang junub maupun wanita haidh adalah suci dan tidak najis sangat banyak sekali. Di antaranya:
Dalil pertama:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ  لَقِيَهُ فِيْ بَعْضِ طَرِيْقِ الْمَدِيْنَةِ وَهُوَ جُنُبٌ فَانْخَنَسْتُ مِنْهُ فَذَهَبَ فَاغْتَسَلَ ثُمَّ جَاءَ فَقَالَ أَيْنَ كُنْتَ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ كُنْتُ جُنُبًا فَكَرِهْتُ أَنْ أُجَالِسَكَ وَأَنَا عَلَى غَيْرِطَهَارَةٍ فَقَالَ سُبْحَانَ اللهِ إِنَّ الْمُسْلِمَ لاَ يَنْجُسُ
Dari Abu Huroiroh bahwasanya Nabi n pernah bertemu dengannya di suatu jalan kota Madinah sedangkan pada saat itu dia (Abu Huroiroh) dalam keadaan junub lalu dia bersembunyi menghilang dari Nabi n untuk pergi mandi, kemudian dia datang. Nabi n bertanya: “Kemanakah engkau tadi wahai Abu Huroiroh?”. Aku jawab: “Tadi saya junub, dan saya tidak suka untuk duduk bersamamu sedang diriku tidak suci”. (Mendengar hal itu) Nabi n bersabda: “Subhanallah, sesungguhnya orang muslim itu tidak najis”. (HR. Bukhori no. 283 dan Muslim no. 371).
Dalil kedua:
عَنْ عاَئِشَةَ xرضي الله عنها قَالَتْ كُنْتُ أُرَجِّلُ رَأْسَ رَسُوْلِ اللهِ  وَأَنَا حَائِضٌ
Dari Aisyah berkata: Saya menyisir rambut Rasulullah sedangkan saya tengah haidh. (HR.Bukhori no.295 dan Muslim no. 287).

Dalil Ketiga:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ  كَانَ يَتَّكِئُ فِيْ حِجْرِيْ وَأَنَا حَائِضٌ ثُمَّ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ
Dari Aisyah bahwasanya Nabi n pernah bersandar di pangkuanku sedangkan saya tengah haidh kemudian beliau membaca Al-Qur’an. (HR. Bukhori no.297 dan Muslim no.301).
Hadits-hadits di atas menunjukkan secara jelas bahwa orang junub dan wanita haidh tidaklah najis. Dan bolehnya menyentuh badannya. (Fathul Bari: 1/535).

Dalil keempat:
Ibnu Mundzir berkata dalam Al-Ijma’ hal. 21: “Para ulama’ telah bersepakat bahwa badan orang yang junub dan haidh adalah suci”.


D. CARA MEMBERSIHKAN BARANG NAJIS
Setelah mengenal barang-barang najis berdasarkan dalil-dalil yang shohih, maka kita dituntut juga mempelajari cara membersihkan barang najis tersebut berdasarkan dalil juga, lantaran pembahasan ini sangat berkaitan erat dengan sebelumnya. Namun sebelum melangkah lebih lanjut, sebaiknya diperhatikan beberapa hal berikut:
1. Sebagaimana Islam menjelaskan tentang barang-barang najis, maka Islam pula yang berhak menjelaskan cara membersihkan barang najis. Karenanya, maka pedoman kita dalam masalah ini adalah syari’at, bukan akal dan perasaan masing-masing.
2. Waspadalah dari tipu daya Iblis dalam masalah ini, karena seringkali dia mempermainkan manusia sehingga dibuat layaknya orang yang tidak waras. Si korban Iblis harus membersihkan wajah dan tangannya dengan jumlah yang tak terhingga padahal dia mengetahui bahwa dirinya tidak terkena najis.
3. Ketahuilah bahwa air adalah alat pembersih utama kecuali apabila ada dalil yang memalingkan darinya seperti membersihkan sandal yang terkena kotoran dengan mengusapkannya ke tanah.
Berikut ini penjelasan secara ringkas tentang cara membersihkan barang najis:
1. Kulit bangkai
Cara membersihkannya yaitu dengan disamak. Hal ini berdasarkan hadits:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ  يَقُوْلُ إِذَا دُبِغَ الإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ
Dari Ibnu Abbas berkata: Saya mendengar Rasulullah n bersabda: “Apabila bangkai telah disamak, maka ia telah suci”.
2. Bejana yang dijilat anjing
Cara membersihkannya adalah dengan menumpahkan airnya kemudian mencucinya tujuh kali dan cucian pertama dengan tanah. Hal ini berdasarkan hadits sebagai berikut:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ  إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِيْ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيُرِقْهُ ثُمَّ لِيَغْسِلْهُ سَبْعَ مِرَارٍ
Dari Abu Huroiroh berkata: Rasulullah n berabda: “Apabila anjing menjilat bejana milik salah seorang diantara kalian, maka hendaklah dia menuangkannya kemudian mencucinya tujuh kali”.

3. Pakaian yang terkena darah haidh
Cara membersihkannya dengan menggosok dan membersihkannya dengan air hingga benar-benar bersih. Hal ini berdasarkan hadits berikut:
عَنْ أَسْمَاءَ قَالَتْ: جَاءَتِ امْرَأَةٌ النَّبِيَّ  فَقَالَتْ: أَرَأَيْتَ إِحْدَانَا تَحِيْضُ فِيْ الثَّوْبِ كَيْفَ تَصْنَعُ؟ قَالَ تَحُتُّهُ ثُمَّ تُقْرِصُهُ بِالْمَاءِ وَتَنْضَحُهُ وَتُصَلِّيْ فِيْهِ
Dari Asma’ binti Abu Bakar berkata: “Seorang wanita pernah datang kepada Nabi n seraya mengatakan: Apa yang kami perbuat bila darah haidh mengenai pakaian kami? Beliau menjawab: Hendaknya dia menggosoknya, membasahinya dengan air dan mencucinya kemudian dia boleh sholat dengan pakaian tersebut”.
Apabila masih ada bekas darahnya, maka hukumnya tidak apa-apa berdasarkan hadits berikut:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ خَوْلَةَ بِنْتِ يَسَارٍ أَتَتِ النَّبِيَّ n فَقَالَتْ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّهُ لَيْسَ لِيْ إِلاَّ ثَوْبٌ وَاحِدٌ وَأَنَا أَحِيْضُ فِيْهِ فَكَيْفَ أَصْنَعُ قَالَ إِذَا طَهُرْتِ فَاغْسِلِيْهِ ثُمَّ صَلِّيْ فِيْهِ فَقَالَتْ فَإِنْ لَمْ يَخْرُجْ الدَّمُ قاَلَ يَكْفِيْكِ غُسْلُ الدَّمِ وَلاَ يَضُرُّكِ أَثَرُهُ

Dari Abu Hurairah bahwasanya Khoulah binti Yasar pernah datang kepada Nabi n seraya berkata: “Wahai Rasulullah, saya tidak mempunyai pakaian kecuali satu saja sedangkan darah haidh saya mengenai pakaian tersebut?”. Rasulullah n bersabda: “Apabila engkau telah suci, maka cucilah tempat darahnya lalu sholatlah dengan pakaian tersebut”. Dia (Khoulah) bertanya: “Wahai rasulullah, bagaimana apabila bekas darahnya belum hilang?” Rasulullah n bersabda: “Cukuplah bagimu dengan cucian tersebut dan tidak memadhorotkanmu bekas darahnya”. (HR. Abu Daud (365), Baihaqi dalam Sunan Kubro (2/408) dan dishohihkan Al-Albani).

4. Ujung pakaian wanita bagian bawah.
عَنْ أُمِّ وَلَدٍ لإِبْرَاهِيْمَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَنَّهَا سَأَلَتْ أُمَّ سَلَمَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ n فَقَالَتْ إِنِّيْ امْرَأَةٌ أُطِيْلُ ذَيْلِيْ وَأَمْشِيْ فِيْ الْمَكَانِ الْقَذَرِ فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ n يُطَهِّرُهُ مَا بَعْدَهُ
Dari Ibu seorang anak dari Ibrohim bin Abdur Rohman bin Auf bahwasanya dia bertanya kepada Ummu Salamah, istri Nabi n seraya berkata: Sesungguhnya ujung pakaianku panjang sedangkan saya berjalan di tempat yang kotor? Ummu Salamah berkata: Rasulullah n bersabda: “Jalan (tanah) setelahnya dapat membersihkannya”. (HR. Malik dalam Al- Muwatho’ (1/24/16), Abu Daud (384), Tirmidzi (143), Ibnu Majah (531) dan Darimi (748), Ahmad (2/290), Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo (142). Syaikh Al-Albani berkata dalam Al-Misykah (504): “Sanadnya lemah disebabkan kemajhulan wanita Ummu anaknya ibrohim bin Abdur Rahman tetapi hadits ini shohih karena ada syahid (penguat) dengan sanad shohih”).
Syahid yang diisyaratkan oleh Syaikh Al-Albani tersebut adalah riwayat Abu Daud (384), Ibnu Majah (533), Ahmad (6/435) dan Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo (143) dari seorang wanita Bani Abdul Asyhal, dia berkata: “Wahai Rasulullah, jalan kami menuju Masjid kotor lantas apa yang harus kami lakukan apabila hujan?”. Nabi n bertanya: “Bukankah setelah jalan (kotor) tersebut ada jalan yang lebih bersih darinya?”. Saya berkata: “Benar, ada”. Nabi n bersabda: “Jalan yang bersih adalah pembersih kotoran tersebut”. (Syaikh Al-Albani berkata dalam Al-Misykah (512): “Sanadnya shohih”).

5. Pakaian terkena air madhi.
Cara membersihkannya cukup dengan membersihkan pakaian yang terkena air madhi tersebut. Hal ini berdasarkan hadits berikut:

عَنْ سَهْلٍ بْنِ حُنَيْفٍ قَالَ كُنْتُ أُلْقِىْ مِنَ الْمَذِيِّ شِدَّةً وَكُنْتُ أُكْثِرُ مِنْهُ الاِغْتِسَالَ فَسَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ n عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ إِنَّمَا يُجْزِيْكَ مِنْ ذَلِكَ الْوُضُوْءُ قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ فَكَيْفَ بِمَا يُصِيْبُ ثَوْبِيْ مِنْهُ قَالَ يَكْفِيْكَ بِأَنْ تَأْخُذَ كَفًّا مِنْ مَاءٍ فَتَنْضَحُ بِهَا مِنْ ثَوْبِكَ حَيْثُ تَرَى أَنَّهُ أَصَابَهُ
Dari Sahl bin Hunaif berkata: “Saya orang yang sangat sering mengeluarkan air madhi sehingga saya sering mandi dibuatnya, maka saya bertanya kepada Rasulullah n tentang hal itu lalu beliau bersabda: “Cukup bagimu untuk berwudhu”. Saya bertanya lagi: “Wahai rasulullah, bagaimanakah dengan pakaianku yang terkena oleh madhi?”. Beliau menjawab: “Cukuplah bagimu untuk mengambil segenggam air lalu kamu percikkan ke pakaianmu yang kamu lihat terkena air madhi”. (HR. Abu Daud (210), Ahmad (3/485), Tirmidzi (115), Ibnu Majah (506), Darimi (729), Ibnu Khuzaimah (291). Imam Tirmidzi berkata: “Hadits hasan shohih” dan dihasankan Al-Albani).

7. Cara membersihkan sandal yang terkena najis
Dari Abu Said Al-Khudri berkata: Rasulullah n bersabda: “Apabila seorang diantara kalian datang ke Masjid, maka hendaknya dia melihat; bila pada sandalnya terdapat kotoran (najis), hendaknya dia mengusapnya dan sholat dengan memakai kedua sandalnya”.

6. Tanah yang terkena najis
Cara membersihkannya ada dua:
Pertama: Cara yang lebih cepat yaitu dengan menuangkan air pada tempat yang terkena najis.
Dari Anas bin Malik berkata: “Telah datang seorang badui lalu kencing di pojok masjid. (melihat hal itu) para sahabat membentaknya tetapi Nabi n melarang para sahabat. Tatkala orang Badui tadi selesai dari kencingnya, Nabi n menyuruh untuk dibawakan seember air lalu menuangkannya pada bekas tempat kencing tersebut”.
Kedua: Membiarkannya hingga kering sendiri. Hal ini berdasarkan hadits berikut:
قَالَ ابْنُ عُمَرَ كُنْتُ أَبِيْتُ فِيْ الْمَسْجِدِ فِيْ عَهِدْ رَسُوْلِ اللهِ وَكُنْتُ فَتًا شَابًا عَزْبًا وَكَانَتِ الْكِلاَبُ تَبُوْلُ وَتُقْبِلُ وَتُدْبِرُ فِيْ الْمَسْجِدِ فَلَمْ يَكُوْنُوْا يَرُشُّوْنَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ
Ibnu Umar berkata: “Saya dahulu tidur di Masjid pada masa Nabi n. Sedangkan waktu itu saya adalah seorang pemuda. Dan adalah anjing-anjing berlalu lalang di Masjid tetapi mereka tidak memercikinya sedikitpun” (HR. Bukhori (174), Abu Daud (382), Ibnu Khuzaimah (300), Baihaqi (1/243) dan Baghowi dalam Syarh Sunnah (292).
Imam Abu Daud membuat bab hadits ini dalam Sunannya “Bab sucinya tanah apabila telah kering”.
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari (1/279): “Abu Daud dalam Sunan-nya berdalil dengan hadoits ini bahwa tanah yang terkena najis dapat suci dengan kering yakni perkataan dalam hadits “mereka tidak memercikinya sedikitpun” menunjukkan bahwa mereka tidak menyiramnya. Seandainya tanah yang terkena najis tidak dapat disucikan dengan kering, tentu mereka tidak akan meninggalkannya. Istidlal ini sangat jelas sekali”. (Lihat pula Aunul Ma’bud (1/43) karya Adzim Abadi dan Tuhfatul Ahwadzi (1/462) karya Al-Mubarokfuri).
Demikianlah pembahasan tentang najis. Semoga bermanfaat.





يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءاَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَاْلأَنصَابُ وَاْلأَزْلاَمُ رِجْسُُ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ اْلأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ
عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ  يَخْطُبُ بِالْمَدِيْنةِ قَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللهَ تَعاَلىَ يَعْرِضُ بِالْخَمْرِ وَلَعَلَّ اللهُ سَيَنْزِلُ فِيْهَا أَمْرًا فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهَا شَيْءٌ فَلْيَبِعْهُ وَلْيَنْتَفِعْ بِهِ قَالَ فَمَا لَبِثْنَا إِلاَّ يَسِيْرًا حَتَّى قَالَ النَّبِيُّ إِنَّ اللهَ تَعَالَى حَرَّمَ الْخَمْرَ فَمَنْ أَدْرَكَتْهُ هَذِهِ الآيَةُ وَعِنْدَهُ مِنْهَا شَيْءٌ فَلاَ يَشْرَبْ وَلاَ يَبِعْ قَالَ فاَسْتَقْبَلَ النَّاسُ بِمَا كَانَ عِنْدَهُ مِنْهَا فِيْ طَرِيْقِ الْمَدِيْنَةِ فَسَفَكُوْهَا
اتَّقُوْا اللاَّعِنَيْنِ فَقَالُوْا وَمَا اللاَّعِنَانِ يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ الَّذِيْ يَتَخَلَّى فِيْ طَرِيْقِ الْمُسْلِمِيْنَ وَفِيْ ظِلِّهِمْ
صَلُّوْا فِيْ مَرَابِضِ الْغَنَمِ وَلاَ تُصَلُّوْا فِيْ مَعَاطِنِ الإِبِلِ فَإِنَّهَا خُلِقَتْ مِنَ الشَّيْطَانِ
يا عَمَّارُ إِنَّمَا تَغْسِلُ ثَوْبَكَ مِنَ الْبَوْلِ وَالْغَائِطِ وَالْمَنِيِّ وَالدَّمِ وَالْقَيْءِ
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسُُ فَلاَيَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا
إِنَّ الْمُسْلِمَ لاَ يَنْجُسُ
يَسْئَلُونَكَ مَاذَآأُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَمَا عَلَّمْتُم مِّنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِّمَّا عَلَّمَكُمُ اللهُ فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ  لَقِيَهُ فِيْ بَعْضِ طَرِيْقِ الْمَدِيْنَةِ وَهُوَ جُنُبٌ فَانْخَنَسْتُ مِنْهُ فَذَهَبَ فَاغْتَسَلَ ثُمَّ جَاءَ فَقَالَ أَيْنَ كُنْتَ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ كُنْتُ جُنُبًا فَكَرِهْتُ أَنْ أُجَالِسَكَ وَأَنَا عَلَى غَيْرِطَهَارَةٍ فَقَالَ سُبْحَانَ اللهِ إِنَّ الْمُسْلِمَ لاَ يَنْجُسُ
عَنْ عاَئِشَةَ رضي الله عنها قَالَتْ كُنْتُ أُرَجِّلُ رَأْسَ رَسُوْلِ اللهِ  وَأَنَا حَائِضٌ
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ  كَانَ يَتَّكِئُ فِيْ حِجْرِيْ وَأَنَا حَائِضٌ ثُمَّ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ  يَقُوْلُ إِذَا دُبِغَ الإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ  إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِيْ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيُرِقْهُ ثُمَّ لِيَغْسِلْهُ سَبْعَ مِرَارٍ
عَنْ أَسْمَاءَ قَالَتْ: جَاءَتِ امْرَأَةٌ النَّبِيَّ  فَقَالَتْ: أَرَأَيْتَ إِحْدَانَا تَحِيْضُ فِيْ الثَّوْبِ كَيْفَ تَصْنَعُ؟ قَالَ تَحُتُّهُ ثُمَّ تُقْرِصُهُ بِالْمَاءِ وَتَنْضَحُهُ وَتُصَلِّيْ فِيْهِ
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ خَوْلَةَ بِنْتِ يَسَارٍ أَتَتِ النَّبِيَّ  فَقَالَتْ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّهُ لَيْسَ لِيْ إِلاَّ ثَوْبٌ وَاحِدٌ وَأَنَا أَحِيْضُ فِيْهِ فَكَيْفَ أَصْنَعُ قَالَ إِذَا طَهُرْتِ فَاغْسِلِيْهِ ثُمَّ صَلِّيْ فِيْهِ فَقَالَتْ فَإِنْ لَمْ يَخْرُجْ الدَّمُ قاَلَ يَكْفِيْكِ غُسْلُ الدَّمِ وَلاَ يَضُرُّكِ أَثَرُهُ
عَنْ أُمِّ وَلَدٍ لإِبْرَاهِيْمَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَنَّهَا سَأَلَتْ أُمَّ سَلَمَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ  فَقَالَتْ إِنِّيْ امْرَأَةٌ أُطِيْلُ ذَيْلِيْ وَأَمْشِيْ فِيْ الْمَكَانِ الْقَذَرِ فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ  يُطَهِّرُهُ مَا بَعْدَهُ
عَنْ سَهْلٍ بْنِ حُنَيْفٍ قَالَ كُنْتُ أُلْقِىْ مِنَ الْمَذِيِّ شِدَّةً وَكُنْتُ أُكْثِرُ مِنْهُ الاِغْتِسَالَ فَسَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ  عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ إِنَّمَا يُجْزِيْكَ مِنْ ذَلِكَ الْوُضُوْءُ قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ فَكَيْفَ بِمَا يُصِيْبُ ثَوْبِيْ مِنْهُ قَالَ يَكْفِيْكَ بِأَنْ تَأْخُذَ كَفًّا مِنْ مَاءٍ فَتَنْضَحُ بِهَا مِنْ ثَوْبِكَ حَيْثُ تَرَى أَنَّهُ أَصَابَهُ
قَالَ ابْنُ عُمَرَ كُنْتُ أَبِيْتُ فِيْ الْمَسْجِدِ فِيْ عَهِدْ رَسُوْلِ اللهِ وَكُنْتُ فَتًا شَابًا عَزْبًا وَكَانَتِ الْكِلاَبُ تَبُوْلُ وَتُقْبِلُ وَتُدْبِرُ فِيْ الْمَسْجِدِ فَلَمْ يَكُوْنُوْا يَرُشُّوْنَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ

0 komentar:

Posting Komentar

Saran dan Komentar anda sangat kami harapkan...