Selasa, 01 Desember 2009

Qiwaid Fiqih

10 FAEDAH
TENTANG QOWA’ID FIQHIYYAH

Abu Ubaidah Al Astary

BILA KAIDAH MELAWAN DALIL

Al-Hafizh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah pernah mengatakan sebuah ucapan yang perlu dicatat dengan tinta emas (!) sebagai berikut:
أَمَّا أَنْ نُقَعِّدَ قَاعِدَةً وَنَقُوْلُ : هَذَا هُوَ الأَصْلُ ثُمَّ نَرُدُّ السُّنَّةَ لِأَجْلِ تِلْكَ الْقَاعِدَةِ, فَلَعَمْرُ اللهِ لَهَدْمُ أَلْفِ قَاعِدَةٍ لَمْ يُؤَصِّلْهَا اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَفْرَضُ عَلَيْنَا مِنْ رَدِّ حَدِيْثٍ وَاحِدٍ!
“Adapun apabila kita membuat suatu kaidah lalu kita katakana: “Inilah patokannya” kemudian kita menolak sunnah Nabi apabila bertentangan dengan kaidah tersebut. Sungguh, kita menolak seribu kaidah yang tidak diajarkan oleh Allah dan rasulNya lebih harus kita dahulukan daripada menolak satu hadits!!”. (I’lam Muwaqqi’in 4/172).


FIQIH KEMUDAHAN

Sesungguhnya syari’at Islam ini dibangun di atas kemudahan. Banyak sekali dalil-dalil yang mendasari hal ini, bahkan Imam asy-Syathibi mengatakan: “Dalil-dalil tentang kemudahan bagi umat ini telah mencapai derajat yang pasti”. (Al-Muwafaqot, 1/231)
Namun, perlu diperhatikan bahwa maksud kaidah ini bukan berarti kita menyepelekan sebagian syari’at Islam dan mencari-cari ketergelinciran atau pendapat lemah sebagian ulama agar sesuai dengan hawa nafsu kita!!! Dahulu sebagian ulama mengatakan: “Apabila engkau mengambil setiap ketergelinciran ulama, maka telah berkumpul pada dirimu seluruh kejelekan”. (Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi Ibnu Abdil Barr 2/91-92). Wallahul Musta’an.


KEMBALIKAN KEPADA ‘URF/KEBIASAAN MANUSIA

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: "Setiap nama yang tidak ada batas tertentu dalam bahasa maupun syari'at maka dikembalikan kepada 'uruf. Oleh karenanya, jarak yang dinilai oleh manusia bahwa hal itu adalah safar maka itulah safar yang dimaksud oleh syari'at". (Majmu' Fatawa 24/40-41).
Contoh penerapan kaidah ini banyak sekali, seperti jarak safar, batas lamanya haidh, ukuran gerakan terlarang dalam sholat dan lain sebagainya.

KAPAN RAGU-RAGU TIDAK DIGUBRIS?

Ragu-ragu tidak perlu digubris dalam tiga keadaan:
1. Apabila setelah melakukan ibadah
2. Apabila ragu-ragunya sering sekali/ was-was
3. Apabila sekedar wahm (ragu-ragu kecil/sedikit).
Tiga keadaan ini telah dikumpulkan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin dalam Mandhumah Ushul Fiqih-nya hal. 153:
وَالشَّكُّ بَعْدَ الْفِعْلِ لاَ يُؤَثِّرُ وَهَكَذَا إِذَا الشُّكُوْكُ تَكْثُرُ
أَوْ تَكُ وَهْمًا مِثْلَ وَسْوَاسٍ فَدَعْ لِكُلِّ وَسْوَاسٍ يَجِيْ بِهِ لُكَعْ
Dan ragu-ragu setelah usai ibadah tidak berpengaruh
Demikian juga apabila banyak ragu
Atau hanya sedikit ragu seperti was-was
Maka tinggalkan segala was-was Syetan.


ANTARA MASLAHAT DAN MADHOROTNYA

Al-Hafizh Ibnul Qoyyim berkata: “Apabila seorang merasa kesulitan tentang hukum suatu masalah, apakah mubah ataukah haram, maka hendaklah dia melihat kepada mafsadah dan hasil yang ditimbulkan olehnya. Apabila tenyata sesuatu tersebut mengandung kerusakan yang lebih besar, maka sangatlah mustahil bila syari’at Islam memerintahkan atau memperbolehkannya bahkan keharamannya merupakan sesuatu yang pasti. Lebih-lebih apabila hal tersebut menjurus kepada kemurkaan Allah dan Rasul-Nya baik dari jarak dekat maupun dari jarak jauh, seoarang yang cerdik tidak akan ragu akan keharamannya.”(Madarijus Salikin (1/496).


BILA IBADAH MEMILIKI BEBERAPA SIFAT

Suatu ibadah apabila memiliki beberapa sifat yang banyak seperti sifat doa Iftitah, adzan, sholawat ketika tasyahhud dll, maka ada tiga kemungkinan:
1. Kita menggabung seluruh sifat yang ada
2. Kita melakukan sebagian sifat dan kadang-kadang sifat lainnya
3. Kita hanya memilih satu sifat saja.
Pendapat yang kedua adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu Fatawa 22/335 dan Qowaid Fiqhiyyah Nuroniyyah hlm. 19, dan Ibnul Qoyyim dalam Jala’ul Afham hlm. 453.
Dan cara alternatif ini yaitu melakukan satu sifat dan kadang lagi sifat lainnya, memiliki beberapa faedah yang cukup banyak:
1. Menjaga sunnah Nabi dan menyebarkannya di antara manusia
2. Mempermudah seseorang, sebab sebagian sifat kadang lebih ringan daripada sifat lainnya
3. Lebih menghadirkan hati
4. Tidak membosankan
5. Mengamalkan syari’at dengan semua sifatnya
6. Menjalin persatuan hati
7. Menunjukkan keadilan.
8. Dll. (Syarh Mumti’ Ibnu Utsaimin 2/56, Ta’liqot Syaikhina Sami Muhammad ala Bulughul Marom no. 305).


MACAM-MACAM LAFADZ

Lafadz-lafadz dalam ibadah dan muamalat itu terbagi menjadi tiga macam:
Pertama: Lafadz dan maknanya dianggap, yaitu Al-Qur’an, maka tidak boleh diganti dengan bahasa lainnya
Kedua: Maknanya dianggap tetapi lafadznya tidak, seperti lafadz-lafadz dalam akad dan muamalat. Maka setiap lafadz yang menunjukkan arti jual beli, pernikahan dan lain sebagainya maka itu sudah sah, sekalipun tidak berbahasa arab.
Ketiga: lafadznya dianggap bila mampu, adapun kalau tidak mampu maka gugur, seperti khutbah jum’at, doa dan lain sebagainya. (Tahrirul Qowaid, Ibnu Rojab 1/64).

DIIZINKAN, MAKA TAK MENANGGUNG

مَا تَرَتَّبَ عَلَى الْمَأْذُوْنِ فَلَيْسَ بِمَضْمُوْنٍ
Apa yang terjadi karena sesuatu yang diizinkan maka tidak perlu menanggungnya.
Maksud kaidah ini apabila seseorang melakukan perbuatan yang diizinkan:
1. Baik dari Syari’at seperti izin untuk menghalangi orang yang lewat di depannya ketika sholat, maka kalau orang tersebut ternyata luka atau sampai meninggal dunia, maka orang yang menghalangi tidak ada tanggungan.
2. Bisa juga dari manusia seperti apabila pemilik rumah mengizinkan pekerjanya untuk meruntuhkan tembok tertentu, lalu tembok sampingnya ikut hancur, maka si pekerja tidak menanggung.
Contoh penerapan lainnya, kalau ada seorang dokter berusaha semaksimal mungkin untuk mengobati pasiennya, lalu pasien tersebut bertambah parah sakitnya, bahkan mungkin meninggal dunia, maka si dokter tidak menanggung akibatnya.
Contoh kedua, seorang pegawai menggunakan fasilitas kerja untuk kemaslahatan kerjanya, lalu terjadi kerusakan, maka dia tidak menanggungnya. Wallahu A’lam.


KADANG BISA LEBIH UNGGUL


قَدْ يَعْرِضُ لِلْمَفْضُوْلِ مَا يَكُوْنُ أَفْضَلَ مِنَ الْفَاضِلِ
Kadang-kadang suatu amalan yang kurang afdhol bisa mengungguli amalan yang afdhol.
Hal itu dikarenakan beberapa sebab, di antaranya:
1. Amalan yang kurang afdhol tadi diperintahkan dalam waktu tertentu, seperti membaca Al-Qur’an ketika dikumandangkan adzan, pada asalnya membaca Al-Qur’an lebih utama namun menjawab adzan saat itu lebih utama karena akan terlewatkan.
2. Apabila amalan yang kurang afdhol tadi mengandung kemaslahatan yang tidak ada dalam amalan yang afdhol, seperti kemaslahatan persatuan hati atau manfaatnya kepada orang lain.
3. Apabila dalam amalan yang kurang afdhol tadi lebih khusyu’ bagi hati, sebagaimana ucapan Imam Ahmad bin Hanbal tatkala ditanya tentang sebagian amalan: “Lihatlah apa yang lebih khusyu’/tenang bagi hatimu maka lakukanlah”. (Lihat Al-Qowa’id Al-Fiqhiyyah, Abdur Rahman as-Sa’di hlm. 22, Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 11/427-429, 24/252, Adab Syar'iiyyah Ibnu Muflih 2/235).

KAPAN BOLEH DIUNDI?!

Undian memang cara yang diperbolehkan dalam syari’at Islam, berdasarkan Al-Qur’an , hadits dan perbuatan sahabat. (Ath-Thuruq al-Hukmiyyah, Ibnul Qoyyim 2/743).
Namun kapankah undian ini lakukan? Jawabannya: Ketika masing-masing kedua belah pihak memiliki hak yang sama dan tidak ada penguat yang dimilki oleh salah satunya. Contoh, apabila ada dua orang yang ingin maju untuk menjadi imam sholat atau adzan dan keduanya memiliki sifat yang sama tanpa ada keunggulan dari salah satunya, maka di sini disyari’atkan untuk diundi.

0 komentar:

Posting Komentar

Saran dan Komentar anda sangat kami harapkan...